Senin, 21 Juli 2008

Gilimanuk 42 Lowokwaru Malang



Tahun 2003 hingga akhir 2005, saya melakukan studi di Universitas Brawijaya Malang. Pada awalnya, sebagai orang baru yang belum banyak mengetahui kota malang, saya dibantu oleh Kakak saya yang saat itu bertugas di Komunitas Cor Jesu malang sebagai Suster Kepala SMK Cor Jesu (Sr. Korina, OSU) untuk mencari kos. Kriteria yang saya sampaikan adalah dekat kampus, tempat agak sepi dan pemilik kos bukan dari keluarga muda. Sengaja persyaratan itu yang saya pakai karena mengingat saya harus meninggalkan istri dan seorang anak saya yang berumur 3 tahun. Selain itu, penampilan saya yang saat itu berumur 32 Tahun, memang masih kelihatan freesh sekali. Jadilah saya mendapatkan kos yang benar-benar memenuhi kriteria tersebut bahkan melebihi harapan saya. Tempat itu di sebuah rumah milik seorang Ibu Janda berumur 73 tahun dengan 6 orang anak yang hampir semuanya sudah berkeluarga (kecuali satu anak laki berumur saya yang belum menikah). Tempatnya benar-benar tenang, nyaman dan sungguh terawat. Ada banyak bunga dari berbagai jenis yang dipelihara di taman dengan aksesori kolam ikan mungil serta sejumlah akuarium yang menghiasi terasnya. Ibu itu bernama Ibu Thresia Siti Susanto, tinggal di rumah tersebut dengan ditemani 2 anak. Seorang yang saya sebutkan tadi dan seorang lagi adalah anak perempuan bungsunya yang sudah menikah dengan seorang cucunya. Sungguh menyenangkan dan perasaan kekeluargaan yang dibangun begitu tinggi. Padahal sebelumnya saya berpendapat bahwa tingkat egoisme orang jawa lebih tinggi dibanding orang dari suku lain. Secara psikologis saya telah pula membekali diri untuk bersikap malas tau dengan orang lain kalau-kalau tinggal di P. Jawa. Namun yang terjadi benar-benar meleset dari dugaan saya itu. Hal lain yang saya syukuri adalah pemukiman itu dekat dengan Gereja Paroki Lely yang Misa hariannya pada sore hari. Jaraknya kurang lebih 500 m dari tempat kos saya. Jadilah saya selama tinggal di malang menjalani hari-hari dengan penuh sukacita dengan gaya hidup seperti Para Santo. Setiap sore, setelah kuliah saya pasti menyempatkan diri misa harian di Gereja itu. Perasaan bathin menjadi sangat tenang dan tentram. Tidak ada kekuatiran secuilpun akan keadaan isteri dan anak yang ditinggalkan di Bajawa. Semuanya begitu indah. Begitu menyenangkan.

2 komentar:

Athan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Gordius Woltman Tuga mengatakan...

Saya belum pernah melihatnya... siapaun mereka.....yang paling baik kita lakukan adalah tidak menyediakan diri sebagai sumber berita bagi yang lain ya....salam. trims.