Senin, 21 Juli 2008
Gilimanuk 42 Lowokwaru Malang
Minggu, 20 Juli 2008
POSSI DI NGADA
Selain wilayah-wilayah tersebut, anggota POSSI juga berada di Nusa Tenggara Timur, yang tergabung dalam berbagai Diving Club, seperti Ngada Diving Club, Kupang DV, dll. Semua klub yang ada di NTT, masih berorientasi pada kegiatan ilmiah dan publikasi program terumbu karang yang selama ini dilakukan. Untuk wilayah Riung, salah satu anggotanya adalah yang menulis report ini untuk anda.
Jumat, 18 Juli 2008
Meneropong Ngada dalam Pemandangan Alam
Sabtu, 12 Juli 2008
Noorsyaidah Fenomena Pemberontakkan Alam
Besi atau iron dalam bahasa inggris dalam pemahaman ilmiah dan secara faktanya tidak pernah bersatu dengan benda hidup, apalagi tumbuh. "Ini mengherankan sekali dan tidak masuk akal!" kata seorang Bapak yang bersama saya ketika sedang menyaksikan sajian acara dari televisi. Ya, memang tidak rasional. "Ini metafiss......!!" tambah yang lain.
Saya termenung mendengar semua tanggapan dan sikap yang disampaikan banyak orang ketika membicarakan topik ini. Saya sendiri memang juga terlarut dalam berita itu. Antara ya dan tidak! Tetapi, kemudian muncul lagi pernyataan para ilmuan dari bidang ilmu yang diharapkan memberikan kalarifikasi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), juga menyatakan hal yang sama. Ini sudah di luar rasionalitas alias Metafisika......Nah lo!?!?
Dari sejumlah tanggapan dan pernyataan yang terus terlontar dari banyak kalangan, ada sebuah alur benang merah yang secara otomatis merangkaikan seluruh pendapat itu menjadi sebuah kesimpulan teologis yang paling ampuh. Tuhan melalui Noorsyaidah mau menyapa seluruh umat-Nya yang pasti sangat disayangi-Nya untuk menyatakan "Aku Ada"
Alam merupakan Eksistensi Allah di dunia ini. Berbagai pandangan yang menghidupkan semua benda di bumi ini merupakan pesan tidak kentara Tuhan, melalui pandangan umatnya dalam berbagai peradaban dan level kehidupan dari awal mula dunia ini diciptakan hingga saat ini. Benarkah Allah memetakan ciptaannya berdasarkan keyakinan atau agama yang dianut? Benarkah Tuhan menggolong-golongkan maklukhnya berdasarkan kemuliaan-Nya? Apakah benar orang-orang yang mengatasnamakan kemuliaanNya diberikan peran yang justru bertindak untuk melunturkan kemulianNya? Siapakan yang sesungguhnya ciptaan kesayanganNya?
Menurut pandangan saya, yang mungkin agak atheis ini, Tuhan dengan pemahaman yang ada dari setiap pengikutNya tentu tidak membutuhkan pihak lain untuk berbuat apa saja demi tujuanNya. Tuhan itu Maha Besar. Jika ada kelompok yang tidak berkenan kepadaNya akan dengan mudah saja di dellet. Kebesaran Tuhan bahkan mulai dari "pikiranNya". Dia tidak perlu bertindak. Tetapi......, sungguh sayang. Banyak orang memaklumkan diri mengatasnamai Allah dengan segenap kebesarannya yang konon berasal dari Allah, telah merampas hak Allah sendiri untuk mengatur ciptaanNya. Campur tangan manusia yang terlalu besar atas ciptaanNya itulah yang mungkin menjadikan semua yang ada di dunia saat ini penuh dengan ancaman dan tanda tanya. Tuhan kini seolah-olah bersembunyi...... Membiarkan umatNya menyelesaikan persoalannya sendiri. Menguji ketahanan manusia atas kekuasaan yang diberikanNya.
Kembali kepada persoalan Noorsyaidah, 17 tahun bukan waktu yang pendek. Logika ataupun Metafisika bukan itu persoalannya. Walaupun kata-kata Ki Joko Bodoh menjastifikasi kebesaran lokal para manusia di daerah terhadap ilmu dan teknologi, namun satu hal yang ingin saya sampaikan bahwa, jika Tuhan berkenan tidak ada yang mustahil. Apapun keyakinanmu. Sekian.
Jumat, 11 Juli 2008
Komitemen Menjaga Lingkungan Kita
Kenyataan yang ada dan terjadi di sekeliling kita mungkin dapat dijadikan indikator perubahan itu. Kalau dulu, para leluhur melakukan pemetaan musim dengan perhitungan yang sangat tradisional begitu akurat, namun sekarang tidak satupun prakiraan cuaca dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi yang luar biasa berkembang itu, mampu membuat prakiraan itu secara tepat. Perubahan musim yang tidak terkirakan, gempa bumi yang dahsyat dan gunung meletus serta sejumlah deret bencana lainnya, seharusnya telah cukup menjadi bahan untuk semua makhluk di bumi terutama bagi makhluk yang paling tinggi derajatnya yang biasa disapa manusia itu, untuk mengambil porsi kebijaksanaan yang maksimal. Hal sederhana yang dapat dilakukan adalah SADAR bahwa alam ini penopang hidup kita. Jangan sakiti dia, jangan merusak dia. Jangan pula tamak dengan dia.
Kita patut bersyukur ada sejumlah pemimpin negara tertentu telah pula mulai berkomitmen untuk menyikapi masalah ini. Tetapi jika seluruh pemimpin sama seperti Bapak Albertus Nong Botha, Bupati Ngada Tahun 1999-2004 seperti dalam gambar berikut ini, mungkin persoalan tidak akan serumit ini. Ketika wacana Pemanasan Global belum mengemuka, Bupati Botha pada Tahun 2000 telah memulai langkah langkah penyelamatan bumi dengan peran kecil saja namun sangat berarti yaitu dengan Transpalantasi Terumbu Karang di Taman Wisata Alam Laut 17 Pulau Riung. Mungkin seperti inikah yang benar?
Kamis, 10 Juli 2008
Sejarah Kota Bajawa
BAGIAN PERTAMA
Oleh : Bp Domi Mere Wea
A. NAMA BAJAWA
Bapak H. Nainawa, seorang tokoh dan pemuka adat yang kini berusia 88 tahun menuturkan bahwa nama Bajawa sebenarnya berasal dari “ Bhajawa ” yaitu nama satu dari antara tujuh kampung di sisi barat Kota Bajawa. Tujuh kampung yang disebut “ Nua Limazua ” tersebut adalah Bhajawa, Bongiso, Bokua, Boseka, Pigasina, Boripo dan Wakomenge. Nua Limazua tersebut merupakan suatu persekutuan “ ulu eko ” yang dikenal dengan “ Ulu Atagae, Eko Tiwunitu ”.
Nua Bhajawa adalah kampung terbesar dari antara tujuh kampung tersebut dan merupakan tempat tinggal Djawatay sebagai Zelfbertuurder atau raja pertama dan Peamole sebagai raja yang kedua. Mungkin karena itulah nama Bhajawa lebih dikenal dari yang lainnya dan digunakan oleh Belanda sebagai nama pusat pemerintahan Onder Afdelling Ngada. Bhajawa kemudian berubah menjadi Bajawa karena penyesuaian pengucapan terutama bagi orang Belanda ketika itu yang tidak bisa berbahasa daerah dengan benar.
Dari aspek etimologi, kata “ Bhajawa ” terdiri dari “ bha ” yang berarti piring dan “ jawa ” yang berarti perdamaian. Jawa bisa berarti tanah Jawa. Sehingga “ Bhajawa ” bisa berarti piring perdamaian, bisa juga berarti piring dari Jawa, sama seperti “ Pigasina ” yang berarti pinggan dari Cina.
Dataran di sebelah timur dari tujuh kampung tersebut, yang kemudian menjadi pusat kota Bajawa, pada mulanya masih merupakan kebun ladang dengan banyak nama seperti “ Mala ”, “ Ngoraruma ”, “ Surizia ”, “ Umamoni ”, “ Padhawoli ”, “ Ngedukelu ”, dan lain-lain. Kawasan gereja dan pastoran Paroki MBC bernama Surizia, kawasan rumah jabatan Bupati, Mapolres dan Kantor Daerah lama bernama Ngoraruma, kawasan tangsi Polisi dengan nama lain lagi, dan seterusnya.
B. AWAL BERDIRINYA
Tidak mudah menentukan tanggal, bulan dan tahun lahirnya Kota Bajawa, karena sulit mendapatkan rujukan tertulis. Walaupun demikian, penuturan Bapak H. Nainawa dan beberapa sumber lain dapat sedikit menyingkap kisah awal Kota Bajawa.
Kota Bajawa dirintis oleh penjajah Belanda. Pada tahun 1907 di bawah pimpinan Kapiten Christoffel, setelah menguasai Larantuka dan Sikka, Belanda mengadakan aksi militer untuk menguasai wilayah Ende, Ngada dan Manggarai. Pada 10 Agustus 1907, pasukan Christoffel tiba di Ende dan hanya dalam waktu sekitar 2 minggu berhasil mengalahkan Rapo Oja dari Woloare dan Marilonga dari Watunggere serta menguasai wilayah Ende. Pada 27 Agustus 1907, pasukan Christoffel mulai melakukan agresi militer ke wilayah Ngada. Sesudah pertempuran di Rowa, Sara, Mangulewa dan Rakalaba, pada 12 September 1907 Bajawa menyerah. Di Bajawa pasukan Belanda menempati lokasi di pinggir kali Waewoki (sekitar rumah potong hewan sekarang) karena dekat mata air Waemude sebagai sumber air minum. Dalam waktu 3 bulan pasukan Christoffel berhasil menguasai seluruh wilayah Ngada dan selanjutnya pada 10 Desember 1907 seluruh wilayah Manggarai dikuasainya. Setelah pemberontakan Marilonga dapat dipadamkan pada tahun 1909 maka pada tahun 1910 seluruh wilayah
Belanda mulai mengatur pemerintahan yang pada mulanya bersifat militer di bawah pejabat militer yang disebut “ Gezaghebber ”, kemudian bersifat sipil di bawah pejabat sipil yang disebut “ Controleur ”. Kapiten Spruijt yang menggantikan Christoffel diangkat sebagai Gezaghebber Ende, van Suchtelen menjadi Gezaghebber Lio, dan Couvreur menjadi Gezaghebber mulai dari wilayah Nangapanda, Ngada, sampai Manggarai.
Agar kegiatan pemerintahan penjajah lebih tertib, keamanan lebih terkontrol dan pemungutan pajak serta kerja rodi yang sebelumnya tidak dikenal oleh masyarakat Ngada, dapat terlaksana dengan baik, Belanda membentuk suatu sistem pemerintahan baru yang sangat berbeda dengan sistem tradisional. Sebelumnya, masyarakat Ngada hidup berkelompok dalam “ ulu eko ”, “ nua ” dan “ woe ” yang bersifat otonom dan tidak ada struktur yang lebih tinggi di atasnya. Demi efektivitas penjajahan, dibentuklah struktur baru di atasnya yaitu “ Zelfbesturende Landschap ” atau “Landschap Bestuur” yang dipimpin oleh seorang “ Zelfbestuurder ” atau raja yang diangkat oleh Belanda dari antara pemuka masyarakat setempat yang paling berpengaruh.
Pada tahun 1912, di seluruh Flores terdapat 27 Landschap Bestuur dan di wilayah Ngada terdapat 6 Landschap Bestuur yaitu Landschap Bestuur Ngada di bawah Djawatay, Nage di bawah Roga Ngole, Keo di bawah Moewa Tunga, Riung di bawah Petor Sila alias Poewa Mimak, Tadho di bawah Nagoti, dan Toring di bawah Djogo.
Pada 1 April 1915, menurut Indisch Staatsblad Nomor 743, Afdeling Flores dibentuk dipimpin seorang Asistant Residen berkedudukan di Ende, membawahi 7 Onder Afdeling, termasuk Onder Afdeling Ngada. Onder Afdeling Ngada dengan ibukotanya Bajawa terdiri dari 4 Landschap Bestuur yaitu Ngada dipimpin Djawatay, Nage dipimpin Roga Ngole, Keo dipimpin Moewa Tunga dan Riung dipimpin Petor Sila. Sedangkan Tadho dan Toring yang sebelumnya berdiri sendiri, bergabung dengan Riung. Karena pada tahun 1916-1917 terjadi perang Watuapi dipimpin Nipado, maka pengangkatan menjadi Bestuurder ( raja ) melalui penandatanganan Korte Verklaring ( perjanjian pendek ) sebagai pernyataan takluk kepada kerajaan Belanda baru dapat dilakukan pada 28 November 1917. Sebelum penandatanganan Korte Verklaring tersebut, Bestuurder (raja) diangkat dengan Keputusan Pemerintah ( Government Besluit ).
Pada tahun 1931/1932 struktur pemerintahan penjajahan Belanda di wilayah Ngada adalah Onder Afdeling Ngada berpusat di Bajawa dipimpin oleh Controleur (seorang Belanda), mencakupi 3 Landschap Bestuur yaitu Ngada dengan ibukota Bajawa, Nagekeo di Boawae dan Riung di Riung. Landschap Bestuur Keo dan sebagian komunitas masyarakat adat Toto bergabung dengan Nage, menjadi Landschap Bestuur Nagekeo berpusat di Boawae.
Pada tahun 1938 struktur pemerintahan penjajahan Belanda di Flores dan di wilayah Ngada mengalami penyempurnaan disesuaikan dengan Inlandsche Gemmente Ordonantie Buitengewesten ( IGOB ) yang dimuat dalam Ind. Stb. 1938 Nomor 490 jo Ind. Stb. 1938 Nomor 681. Struktur baru tersebut adalah Onder Afdeling Ngada dipimpin oleh Controleur ( orang Belanda ) mencakup 3 Landschap Bestuur yaitu Ngada, Nagekeo dan Riung masing-masing dipimpin raja. Di bawah Landschap Bestuur adalah Gemmente / Haminte dipimpin oleh Kepala Haminte / Kepala Mere atau Gemmente Hoofd yang membawahi kampung-kampung yang dipimpin oleh kepala kampung.
Sebenarnya pada mulanya Belanda memilih Aimere sebagai ibukota Onder Afdelling Ngada karena mudah dijangkau melalui laut, sedangkan Bajawa dengan udaranya yang sejuk dan ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut disiapkan dan memang sangat cocok untuk tempat peristirahatan. Di Bajawa dibangun 3 buah pesanggrahan ( penginapan ) yaitu pada bekas Kantor Kecamatan Ngadabawa, Mapolres Ngada dan Kantor Banwas Ngada sekarang. Tanah tempat bangunan pesanggrahan tersebut ditunjuk oleh Djawatay yang ketika itu diangkat menjadi Bestuurder Landschap Ngada. Bajawa kemudian ditetapkan sebagai ibukota Onder Afdeling Ngada mungkin dengan pertimbangan bahwa Bajawa lebih di tengah untuk bisa menjangkau wilayah Riung dan Nagekeo, sedangkan Aimere terlalu di pinggir barat. Ketika terbentuk Onder Afdeling Ngada pada 1 April 1915 dan Bajawa ditetapkan sebagai ibukotanya, maka pesanggrahan pada bekas Kantor Kecamatan Ngadabawa dijadikan kantor, pada Mapolres Ngada sekarang menjadi tempat tinggal Gezaaghebber / Controleur dan pada Kantor Banwas sekarang tetap menjadi pesanggrahan. Kantor Controleur kemudian dibangun dari kayu pada sisi timur pesanggrahan ( pada lokasi Kantor Dinas Pendapatan sekarang ). Sangat disesalkan bangunan bersejarah tersebut, yang kemudian juga digunakan sebagai gedung DPRD Kabupaten Ngada telah diruntuhkan dan kini berganti dengan bangunan Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Ngada. Sedangkan Kantor Bestuurder ( raja ) dibangun di Kampung Bajawa.
Ketika Belanda mulai menjajah wilayah Ngada secara fisik, mereka menemukan kehidupan masyarakat masih sangat sederhana bahkan primitif serta sering bergolak karena terjadinya pertikaian antara suku. Untuk itu, Belanda berupaya mendirikan sekolah rakyat, selain untuk menjalankan “ politik etis “ pemerintah Belanda, juga agar masyarakat dapat baca-tulis, tidak primitif, dan juga memperhalus budi dan perilaku sehingga mengurangi pertikaian antar suku serta mengurangi pola pikir yang tidak rasional ( takhiul atau percaya sia-sia ).
Pada tahun 1908 Gezaaghebber Couvreur menyurati Misionaris Jesuit di Larantuka untuk mengirimkan guru ke
Kedua guru tersebut sekaligus menjadi Misionaris Awam Katolik pertama untuk Bajawa. Tercatat pada 19 Oktober 1915, Mgr. Petrus Noyen, SVD, dalam kunjungan pertamanya ke Bajawa, mempermandikan 28 orang anak sekolah menjadi orang Katolik pertama di Bajawa hasil didikan kedua guru tersebut. Mgr. Petrus Noyen, SVD menginap di pesanggrahan / tempat kediaman Controleur. Pada 28 April 1920, Mgr. Petrus Noyen, SVD bersama Pater J. de Lange, SVD dan Pater J. Ettel, SVD kembali mengunjungi Bajawa melalui Aimere dengan kapal KPM. Pada hari Minggu 9 Mei 1920 sebelum Pentekosta ada perayaan Komuni Pertama dan Krisma yang didahului dengan permandian 30 anak. Pater Ettel mencatat peristiwa itu sebagai berikut : “ Dari dekat dan jauh semua anak sekolah berdatangan bersama guru-guru mereka. Bajawa penuh dengan kuda. Upacara berlangsung dengan gemilang, belum pernah orang menyaksikan peristiwa semacam itu. Putera sulung Hamilton ( Gezaaghebber Onder Afdeling Ngada ) termasuk anak-anak yang menerima Komuni Pertama, ayah dan puteranya sama-sama menerima Sakramen Penguatan (Krisma), suatu hal yang memberi kesan yang sangat mendalam. Di halaman Gezaaghebber diselenggarakan suatu perjamuan pesta. Juga semua kepala desa / kampung diundang.”
Karena perkembangan umat Katolik sangat pesat, maka pada 11 Oktober 1921 berdirilah Paroki Mater Boni Consilii Bajawa, dengan Pastor Paroki pertama Pater Gerardus Schorlemer, SVD. Paroki yang baru ini belum memiliki gedung gereja, sehingga peribadatan dilakukan di gedung SRK Bajawa. Pada tahun 1922 sebuah gereja kecil di bangun pada lokasi gedung Patronat MBC yang lama. Pada 19 Juni 1928 Paroki MBC Bajawa menerima surat resmi dari kantor Van Inland Zelfbestuur yang ditandatangani oleh Raja Peamole yang menyerahkan sebidang tanah untuk membangun gedung gereja, pastoran dan kebutuhan lain bagi umat Katolik Paroki MBC Bajawa. Selanjutnya pada Oktober 1928, dimulailah pembangunan gedung gereja oleh seluruh umat dipimpin oleh Bruder Fransiskus, SVD. Bangunan gereja bergaya Gotik tersebut rampung dan diresmikan dalam upacara pemberkatan meriah oleh Mgr. Arnold Vestraelen, SVD pada 30 Mei 1930. Sedangkan pastoran MBC baru mulai dibangun pada 14 April 1937 dipimpin oleh Bruder Coleman, SVD.
Ketika itu masih sering terjadi pembunuhan akibat pertikaian antar suku. Karenanya, untuk menampung para hukuman, pemerintah membangun rumah tahanan atau penjara atau karpus yang dalam bahasa setempat menyebutnya “bui” atau “baru dheke”. Pada mulanya rumah tahanan dibangun darurat berdinding seng pada lokasi yang kemudian dibangun pasar (sekarang menjadi kantor Dinas Nakertrans). Sekitar tahun 1918 rumah tahanan berpindah lokasi ke depan tangsi Polisi dan dibangun permanen. Gedung tersebut sampai sekarang masih terjaga.
Untuk menjaga keamanan wilayah, di Bajawa ditempatkan sejumlah tentara. Untuk itu, dibangun tangsi tentara Belanda yang selanjutnya sekitar tahun 1939 beralih menjadi tangsi Polisi sampai sekarang. Sedangkan Mapolres yang ada sekarang adalah bekas pesanggrahan yang kemudian menjadi tempat kediaman Gezaaghebber.
Sebuah rumah sakit dibangun dalam bentuk bangunan kayu. Bangunan ini kemudian pernah menjadi Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Ngada dan sekarang telah diruntuhkan dan dibangun rumah dinas. Lokasi rumah sakit kemudian berpindah ke arah timur pada tempat Kantor Bappeda Ngada di Jalan Gajah Mada sekarang.
Kawasan perdagangan terletak pada sisi barat kota. Pada bekas bangunan darurat rumah tahanan dibangun pasar Bajawa, yang ketika pasar berpindah ke lokasi yang baru sekarang, bangunan pasar lama tersebut setelah direnovasi, digunakan berturut-turut sebagai kantor Dinas P dan K, Dinas PU, Kantor Departemen P dan K dan terakhir ditempati oleh Dinas Nakertrans. Kompleks pertokoan berada pada sepanjang Jalan Peamole sekarang.
Untuk kebutuhan pegawai, pemerintah Belanda membangun sejumlah rumah pegawai yang sekarang berada di Jalan Imam Bonjol, Jalan Gajah Mada, dan jalan di belakang Kantor Dinas Perkebunan menuju ke arah pasar Bajawa sekarang. Sedangkan rumah tinggal Controleur yang dibangun sekitar tahun 1928-1930, hampir bersamaan waktunya dengan pembangunan gedung Gereja Paroki MBC Bajawa, kini menjadi rumah jabatan Bupati Ngada.
Untuk memenuhi kebutuhan air minum, diambil air dari sumber mata air Waereke dan dibangun pula bak penampungan yang kini masih berdiri di depan TKK Bhayangkari Bajawa.
Untuk memenuhi kebutuhan akan pekuburan, sekitar tahun 1930, dibuka pekuburan Katolik pada lokasinya sekarang ini.
Perkembangan kota Bajawa yang bergerak ke arah utara dan timur, mengakibatkan “ Nua Limazua ” yang sebelumnya menjadi pusat pemukiman berada di pinggir kota. Di samping itu, sering terjadinya kebakaran yang menghanguskan hampir semua rumah adat, terutama di kampung Bhajawa, Bokua dan Boseka, menyebabkan mereka mulai berpindah ke lokasi yang baru mengikuti arah perkembangan kota Bajawa. Sekitar tahun 30-an kampung Bokua dan Boseka berpindah ke arah timur pada lokasi sekitar Kantor Kelurahan Tanalodu sekarang dan sesudahnya berpindah lagi ke arah selatan kaki bukit Pipipodo, pada lokasi kampung Bokua dan Boseka sekarang. Kampung Bongiso berpindah ke arah utara bergabung dengan Wakomenge yang turun dari puncak bukit Wolowakomenge ke tempatnya sekarang. Kampung Pigasina berpindah ke arah timur berdampingan dengan kampung Boripo sekarang. Sedangkan sebagian dari warga kampung Bajawa berpindah ke arah timur membentuk kampung Bajawa B, berlokasi di sekitar Kantor Kelurahan Tanalodu sekarang dan kampung Bajawa C, berlokasi di kawasan Rumah Tahanan Bajawa sekarang.
Dalam struktur pemerintahan ketika itu, kawasan kota Bajawa termasuk dalam wilayah Haminte Ngadabawa dengan kepala haminte atau kepala mere yang pertama Waghe Mawo yang kemudian diganti oleh Nono Ene. Wilayah Haminte Ngadabawa meliputi kawasan kota Bajawa dan kampung sekitarnya yaitu Bhajawa, Bokua, Boseka, Bongiso, Boripo, Pigasina, Wakomenge, Wolowio, Beiposo, Likowali, Warusoba, Watujaji, Bowejo, Bosiko, Bejo, Bobou, Fui, Seso dan Boba. Setelah kemerdekaan, Nono Ene digantikan oleh Thomas Siu sebagai Kepala Mere Ngadabawa melalui pemilihan langsung. Menjelang pembentukan Daerah Tingkat II Ngada, Thomas Siu diganti oleh Paulus Maku Djawa.
C. DARI KEMERDEKAAN INDONESIA SAMPAI TERBENTUKNYA KABUPATEN NGADA ( 1945-1958 )
Sampai kemerdekaan tahun 1945, kawasan kota Bajawa hanya terdiri dari kompleks gereja dan pastoran Paroki MBC, lapangan, rumah jabatan Controleur, pesanggrahan, kantor Controleur, Sekolah Rakyat Bajawa, rumah sakit lama, pasar lama, kompleks pertokoan lama, rumah penjara, tangsi Polisi dan sejumlah rumah dinas pegawai. Pemukiman penduduk berada di luar kawasan kota pada kampung-kampung sebagaimana digambarkan di atas.
Perkembangan kawasan kota Bajawa setelah kemerdekaan tahun 1945 sampai tahun 1950 berjalan sangat lambat. Keadaan Negara Indonesia yang berada dalam masa perang kemerdekaan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kota Bajawa. Hampir tidak ada perkembangan. Setelah pada tahun 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan suasana perang berakhir, kota Bajawa mulai sedikit bertumbuh.
Pada 5 Desember 1953, para Suster Karmel Tak Berkasut membuka biara di Bajawa. Mereka langsung menempati pintu masuk kota Bajawa. Kehadiran para Suster Karmel Tak Berkasut dengan Klausura Agung di Bajawa, dengan doa dan keteladanan mereka, membawa nuansa yang khas bagi kota Bajawa dan perkembangan Gereja Katolik di Bajawa dan sekitarnya.
Pada tahun 1954, SRK Bajawa II ( sekarang SDK Kisanata ) didirikan. Bersamaan dengan itu, SRK Bajawa I ( sekarang SDK Tanalodu ) yang dibangun pada tahun 1912 berpindah lokasi ke tempat sekarang. Kedua sekolah tersebut akhirnya berdiri berdampingan, SRK Bajawa I untuk anak laki-laki dan SRK Bajawa II untuk anak perempuan.
Pada bulan Januari 1955, Yayasan Vedapura yang berdiri di Ende membuka Kantor Cabang Vedapura di Bajawa. Yayasan ini menangani persekolahan Katolik untuk seluruh wilayah Ngada, Nagekeo dan Riung, dan menempati kantornya sampai sekarang di Jalan Sugiopranoto Bajawa. Selain Yayasan Vedapura, berdiri pula Yayasan Sanjaya yang mendirikan SMPK Sanjaya Bajawa pada 1 Agustus 1955, sebagai SMP yang pertama untuk kota Bajawa dan menempati lokasi pada SMPN I Bajawa sekarang.
Pada 4 Maret 1957, para Suster FMM memulai karya mereka di bidang pendidikan, kesehatan dan karya sosial lainnya di Bajawa. Mereka membangun biara di luar kawasan kota bagian utara, pada lokasi yang mereka tempati sekarang di Jalan Yos Sudarso.
Luas kawasan pusat kota Bajawa mengalami sedikit perkembangan dengan kehadiran biara Karmel, SMPK Sanjaya, Susteran FMM dan SRK Bajawa II. Pada saat ditetapkan menjadi ibukota Daerah Tingkat II Ngada, kawasan pusat kota Bajawa adalah utara dengan biara FMM, selatan dengan biara Karmel, timur dengan SMP Sanjaya dan pekuburan Katolik, barat dengan kali Waewoki, yang kini kita kenal sebagai “ down town ” atau kota lama.
Mengenai terpilihnya
Bajawa kemudian ditetapkan menjadi ibukota Daerah Tingkat II Ngada dengan Undang-undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tanggal 12 Juli 1958, dan peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 1958.
Ka Sao, Ritual Ucapan Syukur Bernilai Miliaran Rupiah di Ngada
Tahapan ritual yang sebenarnya tidak dapat saya detailkan di sini, namun secara garis besar agenda Ka Sao, sebagai berikut :
- Hari Pertama adalah Hari Penerimaan Tamu. Pada hari itu, semua keluarga besar yang memiliki hubungan baik secara hubungan darah maupun secara hubungan perkawinan dan kekerabatan menyatakan eksistensinya. Mereka datang bersama kelompok keluarganya. Biasanya berjumlah 30 - 100 orang/kelompok keluarga. Untuk menyatakan keberadaannya, mereka membuat Sa Ngaza (Maklumat atau Pengumuman). Sa Ngaza dilakukan dengan cara meneriakkan sejumlah kalimat-kalimat adat yang intinya adalah menyampaikan dari mana keluarga mereka berasal, bagaimana hubungan kekeluargaan itu dengan keluarga yang membuat acara dan untuk apa mereka datang. Ketika masing-masing keluarga membuat Sa Ngaza, semua warga lain mendengar dan menyimak isi Sa Ngaza itu. Sa Ngaza biasanya diakhiri dengan perintah membunyikan musik (Go Laba). Pada saat melakukan Sa Ngaza, seluruh keluarga yang melakukan Sa Ngaza berpakaian adat lengkap. Formasi diatur sedemikian rupa seperti formasi Sa Ngaza Penjemputan Tamu. Akhir dari Sa Ngaza adalah menari bersama Tarian Jai. Itu dilakukan bersama keluarga lain yang telah lebih dahulu ada. Jai bersama dilakukan hingga seluruh keluarga besar masuk dan ditutup sore hari saat matahari terbenam.
- Malam harinya dilakukan Upacara atau Acara Tarian Teke. Yaitu nyanyian adat tanpa musik dengan syair-syair khusus baik untuk pujian dan penghormatan kepada leluhur maupun syair-syair yang bersifat pantun untuk menggoda satu sama lain. Acara ini berlangsung hingga pagi hari.
- Hari Kedua. Pada Hari ini, seluruh anggota keluarga diajak untuk menyaksikan persembahan kepada Leluhur dengan korban Kerbau. Korban besar ini merupakan korban utama. Pada saat Ka Sao Leo Seso, kerbau yang dikorbankan berjumlah 3 ekor. Masing-masing diberikan oleh Bapak Maurits Tuga sebagai ucapan syukur atas selesai studi Doktoralnya di New Castle - Sidney Australia, persembahan dari Bapak Anis Bai, sebagai ungkapan Solidaritas Woe dan kerbau terakhir dari anggota Sao Leo Seso. Setelah pembantaian hewan ini, dilanjutkan dengan pembantaian puluhan ekor babi berukuran rata-rata besar sebagai persembahan dari sejumlah keluarga besar yang datang. Pada saat itu, babi yang dipotong berjumlah 74 ekor yang berarti keluarga yang datang berjumlah 74 kelompok keluarga besar (Woe). Sebelum pembantaian didadahului dengan ritual Zia Ura Ngana yang berarti sapaan kepada leluhur untuk meberitahu maksud diadakan pengorbanan ini.
- Masih pada hari kedua setelah pembantaian dilakukan pembakaran dan pembersihan hewan-hewan korban tersebut. Menariknya, tidak semua bagian dari korban persembahan itu dimasak pada saat itu, melainkan dibagi dua (setengah bagian kepala dan setengah bagian ekor). Setengah bagian kepala diserahkan kepada pemilik babi dan setengahnya diserahkan kepada regu pemotong untuk dipotong sesuai ukuran potongan daging konsumsi yang dilakukan secara bersama-sama oleh semua anggota keluarga. Seluruh daging dari semua hewan persembahan dikumpulkan dan dimasak secara bersama. Pada saat yang bersamaan regu masak nasi juga muali bertugas memasak nasi yang jumlahnya 1.500 kg.
- Setengah bagian kepala yang diserahkan kepada keluarga pemilik babi, diolah oleh keluarga itu untuk nanti di masukan kembali ke depot makanan dalam acara Bhei Bhodo, yaitu ritual pengumpulan makanan dari masing-masing keluarga dengan wadah Bhodo (tempat nasi besar dari anyaman lontar) dan diatasnya ditaruh kepala babi atau rahangnya.
- Upacara Bhei Bhodo didahului oleh Bhodo Utama dari Pemilik Pesta yang mengeluarkan Bhodo dari Sao atau rumah yang ukurannya kurang lebih berdiameter 2 meter. Selanjutnya disusul oleh Bhodo dari keluarga lain dengan Bhodo yang lebih kecil untuk dikumpulkan di tempat pengumpulan makanan.
- Acara kemudian dilanjutkan dengan Meghe yaitu makan bersama di depan Sao yang dipestakan itu. Makan bersama didahului dengan Bhaghi atau pembagian nasi dan daging pada setiap orang dengan menggunakan wati atau tempat makan. Setelah semua selesai maka selesailah acara Ka Sao itu.
Semua Saja Atas Terselenggaranya Uapcara Ka Sao Leo Seso
Bapak Yohanes Tuga/Penanggung Jawab Acara.
Rabu, 09 Juli 2008
Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta Dalam Komitmen Kerjasama Pemkab Ngada
Di sela-sela pelaksanaan seleksi, dengan dipandu oleh oknum alumni itu, tim melakukan peninjauan potensi perikanan dan kelautan Kabupaten Ngada serta mengunjungi sejumlah obyek wisata di Kabupaten NGada. Kegiatan ini diharapkan melengkapi materi laporan pelaksanaan kerjasama tahap awal dari tim kepada otorita program ini di Jakarta.
Selasa, 08 Juli 2008
Flores Butuh Sentuhan Khusus
Kawan...... ini persoalan lain lagi di flores. ikuti terus fakta dan masalah dari Flores. Pulau Tercinta.