Senin, 26 Januari 2009

KALAU



Kalau sore telah menetap di permukaanmu
hampir pasti kumengerti
ia belum kembali

Kalau benar terjadi,
mungkinkah aku menerima uluran tanganmu.......
yang kau jamah sepanjang tujuh belas hasta lebih sedikit
di dasar hati...........
Kubidik lenting kaca yang mencermin kejadian gaib
sebelum sempat terjadi,
meski terjadi bukan untuk hari ini,
ini semua terjadi
dalam batas rentang
tali pengikat komitmen yang tak bertepi....
dalam katamu sore itu.

Kalau malam tetap kelas di atasmu
hampir yakin bagiku kini
ia memang tidak kembali............

Kamis, 22 Januari 2009

PEMERINTAHAN ASLI NGADA (dan Nagekeo).

Oleh : Daud L Bara, SH.

Sejarah mencatat bahwa sebelum wilayah Indonesia berada dalam kekuasaan kolonialisme, imperialisme asing khususnya Belanda telah terdapat puluhan kerajaan bahkan mungkin ratusan kerajaan lokal. Mereka mengatur kelangsungan hidupnya dengan aturan-aturan secara turun temurun dan sangat khas serta unik untuk dirinya sendiri. Keseluruhan kerajaan itu, dalam arti “negara’ yang berdaulat. Keberadaan negara bangsa itu sangat ditentukan oleh kemampuan para pendukungnya dalam mempertahankan diri dari persaingan dan pertentangan diantara “negara” kerajaan-kerajaan atau komunitas-komunitas yang ada ketika itu. Sehubungan dengan itu berkembang pula suatu identitas diri yang amat diperlukan sebagai kekuatan untuk mepertahan kan keberadaannya sesuai dengan tradisi mereka.

Demikian halnya dengan wilayah yang kita sebut Ngada ini yang oleh penjajah Belanda dijadikan sebuah wilayah administratif pemerintahan yang kemudian disebut Onder Afdeling Ngada. Wilayah ini sebenarnya merupakan gabungan dari wilayah-wilayah yang lebih kecil yang oleh Belanda dijadikan Landschap yaitu Ngada, Nagekeo dan Riung yang masing-masingnya memiliki budaya dan sitem pemerintahan sendiri berdasarkan latar belakang budaya dan adat istiadatnya sampai kurang lebih Tahun 1907 ketika Belanda masuk wilayah ini. Setelah wilayah ini dikuasai Belanda merubahnya dengan sistem Pemerintahan Belanda.

Mengenai sistem pemerintahan lokal atau asli tidak banyak literatur yang menulis tentang hal ini kecuali para misionaris Katolik yang pernah bertugas di wilayah ini seperti P. Paul Arnt, SVD yang meneliti tentang Spritualitas Orang Ngada, bahasa dan budaya dan lain-lain. Hasil wawancaranya dengan orang-orang tua pada masa itu dan cukup banyak yang berhasil dikumpulkan dan ditulis. Selain P. Paul Arnt, SVD juga P. Dr. Herman Yosef Bader, SVD (Sarana Etnologi Budaya dalam mata pelajaran ilmu bangsa-bangsa pada SMAK Syuradikara Ende, 1953-1957 bersumber pada disertasi doktoralnya yang berjudul “Der Künste Von Ngadha”. Senantiasa diangkatnya menjadi contoh dalam mata pelajarannya. Disamping itu dijumpai refrensi tentang budaya adat dan istiadat yang telah di kumpulkan oleh Yosep Tua Demu, BA dan menulisnya dalam bentuk manuskrip. Beliau sering menjadi narasumber dalam berbagai kesempatan seminar atau lokakarya terutama yang menyangkut budaya dan banyak hal menarik yang perlu terus digali untuk diangkat ke permukaan. Juga dapat dijumpai dalam keseharian ketika kita berada di kampung-kampung tradisional yang masih ada, menanyakan berbagai hal yang menyangkut budaya dan adat istiadat pada orang-orang yang dianggap mengerti budaya, kita akan memperolehnya dengan mudah.

Menurut P. Herman Yosef Bader, SVD, dalam disertasinya menulis bahwa orang Ngada berasal dari daratan Yunan Selatan (Selatan Cina). Hal ini jika dikaitkan dengan ungkapan dalam ritus adat Reba pada saat Sui Uwi, menyebutkan : “Puü Zili Sina One” yang secara harafiah diartikan ”Dari Cina nun jauh di sana”. Banyak nama orang diberi nama Sina. Ine Sina, Sina Dewa, dll. Demikianpun nama rumah adat atau Sao Meze : Lusi Sina, Sina Ziä. Nama kampung seperti Piga Sina, Suri Sina, dan lain-lain.

Dalam tulisannya mengenai pemerintahan asli, P. Herman Yosef Bader, SVD juga mengemukakan bahwa Ngada mempunyai struktur kepemerintahan budaya yang berbentuk republik setingkat desa yang berdemokrasi murni. Mereka mengenal struktur wilayah teritorial dalam pemerintahannya (struktur genealogios).

  1. Struktur Wilayah Teritorial.

Wilayah Ngada yang kita kenal sekarang ini pada masa lampau lebih dikenal dengan nama”Ota Roja”. Nama ini ditemukan dalam butir 60 kisah perjalanan panjang Orang Ngada dari negeri asalnya yang menyebutkan ”Lau mai da toja gha nuka dia Roja” (Itulah dia yang semakin tertuju ke Roja ini). Butir 61 mnyebutkan ”Dia gha tiwu lina, tiwa da lina latu, sa bhege ba bheo pau” (telah tiba di teluk yang indah, ada secercah cahaya, gamabaran adanya kehidupan). ” Oba nee Nanga da se....gha waebata” (Leluhur Oba dan Nanga telah menaklukkan samudera). ”Sa lapa sa lazi neë maghi padhi, sa teda sa ngeda neë peda mëra” (tanah yang ditunjuk dan yang akan dikuasai, dibagi habis dengan batasnya barisan lontar dan duri perang). ” Pale nee zala pale, toke nee zala sede” (Berpencarlah ke wilayah pesisir dan mendakilah ke daerah pegunungan/pedalaman). Yang berpencar dan menguasai wilayah pesisir selanjutnya disebut ”Ata Maü”, dan yang masuk ke wilayah pedalaman disebut ”Ata Duä”. Secara alamiah kondisi wilayah di Ngada ini dipecah-pecahkan oleh deretan pegunungan bukit dan sungai yang disebut ”degho wolo” dan ”baka leko”. Di antaranya masih terdapat gunung dan bukit yang berdiri sesuai dengan keberadaannya sendiri-sendiri yang disebut ”Toko wolo”. Di setiap Toko wolo terdapat dua hal pokok yang perlu diketahui, yakni :

    1. Secara alami sejak awalnya terdapat hutan yang ditumbuhi perbagai jenis tanaman kehutanan yang bermanfaat bagi kehidupan/fungsi alami dan dapat dimanfaatkan hasilnya bagi kebutuhan hidup warga. Wilayah ini disebut ”Fao Kaju”. Dimana komunitas masyarakat yang berdiam di sekitarnya selalu identik dengan keberadaan hutannya (identitas teritorial wilayah dan manusia).
    2. Kawasan hutan yang dibudidayakan dengan jenis tanaman tertentu seperti bambu, yang ditanam di sekitar wilayah perkampungan atau di bukit/dataran dekat perkampungan yang disebut ”Fao Bheto” (daerah pedalaman). Sedangkan di kawasan pesisir lebih dominan tanaman kelapa yang disebut ”Fao Nio”

Di setiap Fao Kaju, Fao Bheto dan Fao Nio terdapat beberapa buah kampung (Nua, Boä atau Ola) sebagai pendukung kawasan lingkungan masing-masing dengan hukum adatnya sendiri-sendiri. Walaupun nampaknya serupa tetapi tidak sama tergantung kesepakatan yang dibangun dalam komunitas Fao masing-masing.

Selain fao kaju, fao bheto dan fao nio memiliki hukum/adat yang sifatnya umum, ternyata di tingkat ”Nua” atau kampung juga terdapat otonominya sendiri berdasarkan ”Ulu-eko Nua”. ”Nua” mengatur dan mengurus kepentingan ”One Nua” (dalam kampung) dipimpin oleh fungsionaris adat (Dela One Nua, Mosa One Nua, Mosa Ulu Laki Eko, Mosa Wuku Ulu Laki Enga Eko, Mosa Udu Daki Eko). Mereka mengurus berbagai hal menyangkut kepentingan bersama seluruh warga dalam kampung dan tidak boleh ada campur tangan dari kampung lain. Mengatur, mengurus persoalan dalam komunitas seperti : masalah tanah, adat istiadat, perkawinan, pertanian, pesta adat, peradilan adat (mengurus perkara antar warga dalam kampung / bapho untuk menyelesaikan pertiakaian).

Setiap Nua/Kampung terdapat komunitas yang lebih kecil lagi yaitu ”Woe” atau Klan yang sering identik dengan ”Suku” (sebuah interpretasi yang perlu dirumuskan kembali). ”Woe” memiliki struktur kepengurusan tersendiri oleh mereka yang berkesatuan kedarahan (genealogis) dan sangat otonom.

Pada tingkat ”Nua” sampai denga ”Toko Wolo” terdapat kepemimpinan dan pemimpin yang kolegial/kepemimpinan bersama atau gotong royong (toö penga toö, rejo penga rejo) yang terdiri dari para Mosa Woe, Pendiri Kampung (Mori Tere Lengi), para fungsionaris seperti para mosa, Mori Kewe atau penguasa tanah ulayat, Mori Teke Wesu/Mori Buku (pemangku fungsi penaggalan/bulan), Mori Padhe Bisa ( imam adat untuk berhubungan dengan para dewa atau leluhur di alam baka). Mereka ini disebut ”Mosa Laki” karena merupakan pemanut yang bijak dan berwibawa, berperan untuk menggerakan masa bila ada tantangan yang menghadang, yang mengganggu keutuhan wilayah teritorial mereka.

  1. Struktur Genealogis (Woe)

a. Ngada

Dalam setiap kampung di Ngada ini (Nua) terdapat beberapa ”Woe” atau Klan yang memiliki struktur kepengurusan sendiri oleh para pendukung ”Woe” yang berkesatuan kedarahan (genealogis). Secara fisik di perkampungan tradisional orang Ngada dijumpai monumen yang dibangun di tengah kampung berupa Ngadhu/Madhu, Bhaga, Peo dan Ture. Ada ungkapan ” Ngadhu nee Bhaga tau rada go kisanata”. Berapa jumlah Ngadhu dan Bhaga dalam satu kampung dapatlah diketahui berapa jumlah ”Woe” dalam kampung tersebut.

Woe memegang otonomi tertinggi karena memiliki bidang tanah, hutan terutama tanaman bambu, kelapa, loka, barang-barang mas dan yang paling utama dalam Woe terdapat ”Kesatuan Manusia” dan memiliki pemimpin secara turun temurun. Woe mempunyai kewenangan dan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus semua kepentingan dalam kesatuan Woe. Kepemimpinan atau pemimpin dalam Woe disebut ”Ana Koda”. Anakoda biasanya berasal dari Saö Saka Puü dan Saö Meze Saka Lobo yang bila ada upacara Pogo Ngadhu/Madhu dan dibawa masuk dalam kampung maka yang naik berdiri di atas batang Ngadhu adalah Anakoda. Satu berdiri di depan yang disebut Saka Lobo dari Saö Meze Saka Lobo dan satunya di belakang yang disebut Saka Puü dari Saö Meze Saka Puü dan yang ada di bawah yang memiliki peran penting disebut ”Wua Ghao” (Wua Nemo Ghaö Muë).

Monumen utama dalam Woe berupa Ngadhu/Madhu, Peo, Bhaga terdapat tiga unsur kekuatan pokok yang memiliki peran penting dengan konsekwensi memperoleh hak dan kewajiban yaitu : Saka Puü, Saka Lobo dan Wua Ghao yang menurut P. Hubert Muda, SVD, organisasi tiga serangkai masyarakat asli ada kemiripan dengan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam bidang administrasi modern. Berbeda dengan struktur wilayah teritorial ”Nua” yang disebut ”Ulu Eko” yang diatur menurut dasar hukum adat ”Sui Uwi Reba” dengan peraturan pelaksana adat yang dikenal dengan nama ”Waru Jawa” melalui kesepakatan Mosa Ulu Ekonya, maka pada Woe lebih dikenal dengan istilah ”Puü dan ”Ngalu” (Puu dan Lobo) atau pokok/pangkal dan ujung. ”Woe” adalah kelahiran Ngadhu dan Bhaga. Baik Saka Puu, Saka Lobo maupun Wua Ghao memiliki rumah adat (Sao Meze) yaitu Sao Meze Saka Puu, Sao Meze Saka Lobo dan Sao Meze Wua Ghao.

Semua Sao Meze memiliki Suä (lambang hak dan kewajiban). Dalam perkembangannya terutama karena anggota semakin bertambah dan sudah mencapai tingkat kemampuan tertentu, maka akan melahirkan ”Sao Dhoro” atau rumah pemekaran baru dan diberi/dibagi Suä (hak dan kewajiban) dengan bidang tanah atau kekayaan tertentu. Bila Sao Dhoropun dalam perkembangannya mengalami kemajuan dan pertumbuhan manusia yang semakin banyak, maka akan melahirkan Saö Tede. Saö Tede tidak memiliki Suä sendiri. Sao Tede merupakan bagian yang terpisahkan dari Sao Dhoro, tetapi merupakan bagian dari Sao Meze dari mana mereka berasal dan mengacu pada peka puu atau peka lobo atau wua ghao sesuai struktur masing-masing dan tergabung dalam satu Woe pemegang hak tertinggi. Woe memiliki bidang tanah (tanah Ngadhu-Bhaga atau tanah milik bersama Woe/Klan) yang dibagi sama rata dengan batas-batas tertentu menurut ”Lanu”. Setiap Lanu dibagi lagi lahan untuk digarap bagi kelangsungan hidup anggotanya yaitu Padhi Hae/Padhi Sae Duri Tewu. Bagi orang Ngada pendukung budaya Reba, memiliki hukum pertanahan yang disebut ”Sa Lapa Sa Lazi Nee Padhi Maghi, Sa Teda Sa Ngeda Nee Peda Mera” ( semua tanah telah dibagi habis dengan batas tertentu yang diibaratkan dengan barisan pohon lontar dan duri perang). Pembagian tanah secara adil dan merata bertujuan untuk diolah secara baik bagi peningkatan taraf hidup semua orang (Wi Polu Bhogu Jou, Paga Bhangu Asa).

Dari uraian singkat di atas baik mengenai strukur wilayah/teritorial maupun geanologis (Woe/Klan) yang ditemukan dalam budaya Ngada (pendukung Budaya Reba) memiliki struktur kepemerintahan budaya yang berbentuk republik desa, berdemokrasi murni dan sangat otonom.

b. Nage

Demikian halnya, Komunitas Masyarakat Adat Nagekeo. Menurut Bapak Eperadus Dhoy Lewa, komunitas masyarakat adat Nage tidak banyak berbeda dengan budaya Ngada. Setiap kampung (Nua/Ola/Boa) selalu memiliki ”Peo-Ngusu-Nabe” yang merupakan simbol persatuan dalam persekutuan adat. Ada ungkapan : ” Koko Neë dolo to, Lanu neë tadu asu” (memiliki pembagian hak dan kewajiban yang jelas). Ada Sao Waja, Peo, Ngadhu. Struktur masyarakat di Nage mewajibkan setiap Klan memiliki ”Hoö”. ”Hoö” adalah orang kebanyakan yang dari awalnya tidak memiliki tempat berusaha dan mereka dimanfaatkan untuk membantu tuannya melaksanakan tugas harian memelihara dan menggembalan ternak, berkerja di sawah dan di ladang, dan membantu urusan dalam rumah tangga. Kemosalakian orang di Nage adalah mereka yang dianggap berkemampuan lebih. Mereka sangat menjunjung tinggi martabat karena setiap orang harus menunjukkan kemampuan memiliki harta benda, tanah garapan yang luas dan ternak yang banyak. Dengan demikian status sosialnya terangkat dan diakui. Ada ungkapan yang merupakan prinsip yang wajib dijalankan adalah : ”Bani puü ngiï da Ngai” yang secara harafiah dapat diartikan : ” Berani tampil karena bisa”. Masyarakat Nage memiliki fungsionaris adat seperti :

v Mosa Ulu Laki Eko (Pemimpin Wilayah)

v Mosa Watu Laki Tana (Pemilik Tanah)

v Mosa Bhada Laki Wea (Mosa yang memiliki ternak yang banyak dan harta (orang berada)

v Mosa Wiwi Laki Lema ( Orang yang pandai berbicara yang sering dipercayakan sebagai juru damai)

v Mosa Boä Laki Ola (Pemuka dalam kampung).

Mereka memiliki semboyan hidup :

v Kamu kana nama mala (harus memiliki kekerabatan yang luas).

Contoh ungkapan/pernyataan salah satu suku yang ada di Nage, sebagai berikut :

” Ta so nama wolo dhu zele lodo, Kamu lana nama mala badha zele djdja. Kami Ebu Oba Kajo Nanga, Kami dho dho puü zele wolo, Gheghe se tege, puü lobo leke zele, Kesu sa loge, Kami dhodho puü pore lena zeta”.

Peo Ngusu Nabe di Komunitas Nage memiliki struktur yang tidak jauh berbeda dengan Komunitas Ngada karena ada Saka puü-Saka Lobo-Ada Iwu – Lado Bepi dan tugu-tugu.

c. Keo

Di Wilayah Keo (Keo Tengah dan Mauponggo) dari keterangan Bapak Arnold Dhae dan Bapak Anton Towa dari Mauponggo (yang kemudian juga disampaikan oleh Bapak Pit Yan Jo dan Bapak Salesius Wundu dari Keo Tengah) ; di masa lampau komunitas masyarakat adat Maü, sangat menentukkan masalah mati hidupnya sendiri. Otonomi atau hak mengatur dan mengurus rumah tangga komunitas sebagai wilayah hukum diatur melalui hukum adat. Kewenangan dan kewajiban tidak hanya menyangkut kepentingan duniawi tetapi juga menyangkut kepentingan rohani. Tidak hanya berkenaan dengan kepentingan umum/komunitas (pemerintah/negara) tetapi juga kepentingan penduduk perseorangan. Isi otonomi menurut hukum asli sebetulnya sangat luas dan memiliki unsur-unsur asli yang bermutu tinggi walau dalam bentuk yang sangat sederhana. Namun sejak jaman Belanda bahkan sampai saat ini terjadi pembatasan-pembatasan dalam otonomi dan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hukumnya.

Setiap kampung tradisional mempunyai sitem pemerintahan sendiri berdasarkan ”Peo Yenda” (monumen/lambang persatuan dan kesatuan dalam kampung). Setiap ”Peo Yenda” terdapat pemangku adat yang disebut ”Saka Puu” dan ”Saka Lobo”. Segala urusan dalam kampung harus mendengar perintah dari pemamngku ”Saka Puu” dan ”Saka Lobo” Peo Yenda. Baik Saka Puu maupun Saka Lobo masing-masing mempunyai ”Tuku” yang berfungsi sebagai penopang/pendukung. Saka Puu, Saka Lobo dan Tuku memiliki beberapa ”Ana Tuku” dan dari ”Ana Tuku” terbagi lagi menjadi beberapa ”Woe” atau suku. Pemangku adat ”Ana Tuku” berfungsi seperti para menteri dalam kabinet yang bertugas membentengi/menopang struktur yang ada di atasnya. Setiap suku/Woe turun ke beberapa ”Ngapi” (bagi lika wunu). Misalnya pada saat pesta adat ”Pebha” atau ”Para” atau ”Pa” mereka memperoleh bagian yang sama namun tidak boleh mendahului struktur yang sudah ditetapkan di atasnya. Bila dalam perkembangan, jumlah manusia semakin banyak maka pengaturan kepemilikan tanah dibagi menurut suku dengan jalur yang telah digariskan. Pada masa lalu aturan seperti ini sangat ditaati sehingga sangat jarang terjadi perselisihan.

Bila terjadi perselisihan atau persoalan maka ada mosa yang terbatas dalam keluarga atau suku mencari solusi pemecahaan (podo coö). Ada fungsionaris adat yang disebut ”Mosa Mere Laki Lewa” nya masing-masing. Semua persoalan dalam kelurga cukup diselesaikan dalam rumah ”Pata soö, poto reta tolo” (jangan di bawa ke luar). Kalau menemui jalan buntu, masih ada forum yang disebut ”Teë mere, wewa lewa”. Masyarakat selalu mengacu pada struktur dalam rumah adat (Saö) yang disebut ” Neë ta reta tolo” (ada yang di bagian dalam rumah yang memiliki status sebagai pemimpin, pengatur/pengurus). ”Neë ta rade tenda” (ada yang yang di ruang tengah), ”Neë ta rade tana” (ada yang di luar teda/moä). Mereka ini yang menjalankan semua perintah dan sebagai pelancar semua urusan sidang. Bila ada pertemuan dalam rumah, mereka ada di bagian depan rumah ”mera ana tenda neë rade tana” (para pelancar urusan).

Fungsionaris adat yang ditetapkan sebagai pemimpin tertinggi di dalam komunitas kampung atau semacam kepala kampung disebut : ”Mosa Wuku Ulu, Laki Enga Eko” dan harus berasal dari keturunan ”Saka Puü” atau ”Saka Lobo” dan minimal dari pemangku ”Tuku”. Jika yang pertama berhalangan masih ada orang kedua dan jika keduapun berhalangan masih ada orang ketiga dan seterusnya. Dengan demikian dari Puü ke Lobo, Lobo ke Tuku baru turun ke Ngapi.


Selasa, 20 Januari 2009

"Kepada Kawan"



Hari ini, kawan
Aku tahu kau berduka
Maafkan aku karena ini

Aku lemah.....karenamu
Sekeliling tembok vonismu...
Bagiku gelap sudah tatapanku..

Walau aku butuh cahaya kecil..
Kecil, cuma sekerdip saja..
Tapi tidak aku temui.

Aku meraba, mencoba mendongak
Bangun... namun kembali terduduk
Tercampak dalam bayangan kemurkaanmu.

Akupun berduka karenamu.
Dan hanya harapanku; cuma satu
Semoga matahari esok bawa kisah yang lain
bagiku...., juga bagimu......kawan

TUHAN




Tuhan.............
berilah aku setitik air mata
untuk setitik penyesalan
yang telah kulakukan
kepadanya...............................

Jumat, 16 Januari 2009

BUAT APA


buat apa kita bicara soal cinta, kawan,
lebih baik berdebat masalah bencana yang datang silih berganti di tanah kita
atau banjir yang tak pernah henti di jakarta
atau perang sampah yang hanya sehari
atau perang arab israel yang terus bergolak
atau krisis ekonomi yang melanda dunia
atau harga bbm yang naik turun tak kenal kompromi
atau modal dan pinjaman luar negeri yang melulu menambah hutang
atau korupsi, manipulasi, inflasi yang terus bersimaharajalela
atau apa saja asal bukan soal cinta.
Karena cinta itu adalah cybermania yang tak pernah bergeming dari kekusukkan
di depan laptop keluaran baru jepang
telah jenuh kita dekap....seharian.